Paket Deregulasi
>> Selasa, 06 Oktober 2009
Pengertian Bank menurut UU No. 10 Tahun 1998 adalah Suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Pada masa kolonial kegiatan Perbankan di wilayah Hindia-Belanda ini terutama diarahkan untuk melayani kegiatan usaha dari perusahaan-perusahaan besar milik kolonial di wilayah jajahannya serta membantu administrsi anggaran milik pemerintah. Dengan demikian fungsi utama perbankan pada masa penjajahan adalah :
• Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik kolonial.
• Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar milik colonial, seperti giro, garansi bank, pemindahan dana, dll.
• Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke Negara penjajah.
• Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak untuk kemudian dikirim ke Negara penjajah.
• Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kolonial.
Fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi kegiatan perbankan masih banyak dipengaruhi oleh pola yang diterapkan pada masa penjajah.
Bank-bank yang ada tidak secara tegas diarahkan untuk memobilisasikan dana seluas-luasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat seluas-luasnya. Kebijakan yang terkait dengan sector perbankan hanya ditekankan pada kegiatan usaha-usaha besar dan program-program pemerintah. Selain karena kebijakan otoritas moneter pada waktu itu yang belum meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat luas, keadaan diatas juga disebabkan oleh belum adanya perangkat peraturan dan perundang-undangan secara khusus mengatur dunia perbankan.
Untuk mengatasi situasi yang serba tidak menguntungkan ini, cara yang ditempuh pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor rill dan di sector moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan. Meskipun istilah yang digunakan adalah “deregulasi”, tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan pengaturan pada bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas moniter untuk meningkatkan kinerja duni perbankan, dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sector riil.
Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan antar lain :
1. Paket 1 Juni 1983 yang berisi tentang :
• Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrument pengendali jumlah uang beredar (JUB)
• Pengurangan KLBI kecuali untuk sector-sektor tertentu.
• Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpan dari pinjaman kecuali untuk sector-sektor tertentu.
2. Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
3. Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI. Pada tahun ini Pemerintah juga memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.
4. Tahun 1987 Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah.
5. Juni 1987 Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
6. 24 Desember 1987 Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
8. Paket 27 Oktober yang berisi tentang :
• Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi :
o Kemudahan pembukaan kantor bank
Bank pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional, dan bank koperasi dapat membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.
Pembukaan kantor cabang pembantu cukup dilakukan dengan memberitahu Bank Indonesia.
o Kejelasan aturan pendirian Bank Swasta
Modal di setor bank umum minimal Rp 10 Miliyar.
Modal disetor BPR minimal Rp. 50 juta.
BPR dapat di tingkatkan menjadi bank umum.
BPR dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan.
Pembukaan kemungkinan untuk mendirikan bank campuran antara bank nasional dengan bank asing.
o Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank bias menerbitkan sertifikat deposito tan[pa memrlukan izin.
o Semua bank dapat memberikn layanan Tabanas dan tabungan lainnya.
o Efesiensi Lembaga Keuangan, yang meliputi
BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50% dananya pada bank nasional manapun.
Batas maksimum pemberian kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank.
• Pengendalian Kebijakan moneter, yang meliputi :
o Likuiditas wajib minimu perbankan dan lembaga keuangan bukan bank diturunkan dari 15% menjadi 2% dari jumlah dana pihak ketiga.
o SBI dan SBPU yang semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang ditambah dengan yang berjangka waktu sampai dengan 6 bulan.
o Batas maksimum pinjaman antar bank ditiadakan.
• Pengembangan pasar modal, yang meliputi :
o Bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar 15% agar dunia perbankan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pasar modal.
o Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan.
o Perluasan modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan dengan penjualan saham baru melalui pasar modal di samping peningkatan penyertaan oleh pemegang saham.
9. 21 November 1988 Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
10. Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang :
• Aturan penyelenggaraan bursa efek oleh swasta.
• Alternative sumber pembiayaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura, perdagangan surat berharga, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.
• Bank dan lembaga keungan bukan bank dapat melakukan kegiatan perdagangan surat berharga, kartu kredit, anjak piutang, dan pembiayaan konsumen.
• Kesempatan pendirian perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, raesuransi, broker asuaransi, adjuster asuransi, dan aktuaria.
11. Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang :
• Penyempurnaan paket sebelumnya.
• Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat memiliki net open position maksimum sebesar 25% dari modal sendiri.
12. Tahun 1990 Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.
13. Mei 1990 Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit, dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak, beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi, apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat. Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru. Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan 387 pos baru.
14. Tahun 1991 Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali "meluncurkan" serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.
15. Tahun 1992 Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.
16. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
17. Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnan aturan kesehatan bank meliputi :
• Rasio kecukupan modal
• Batas maksimum pemberian kredit
• Kredit usaha kecil (KUK)
• Pembentukan cadangan piutang.
• Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga.
18. 10 Juni 1993 Pemerintah kembali "menggebrak" lewat paket deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.
19. Tahun 1994 Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada PMA untuk "menabur" duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya, bidang pers salah satunya.
20. Tahun 1995 Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.
21. 26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.
22. 4 Juni 1996 Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
23. Tahun 1997 Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif, pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak 7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama. Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.
Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang hingga Rp 300 juta tanpa PEB.
Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18 Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah, guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara, penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan lembaga non departemen.
Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang ddalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).
Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng, yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.
Serangkaian kebijakan diatas telah mengakibatkan banyak perubahan dalam perbankan Indonesia. Ciri-ciri perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak dapat ditemui lagi pada masa setelah deregulasi. Sehinnga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di Indonesia mempunyai cirri-ciri sbb :
• Peraturan yang memberikan kepastian hokum.
• Jumlah bank swasta bertambah banyak.
• Tingkat persaingan bank semakin kuat.
• Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang.
• Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat.
• Mobilisasi dana melalui sector perbankan yang semakin besar.
KESIMPULAN :
Pengertian Bank menurut UU No. 10 Tahun 1998 adalah Suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pada masa kolonial kegiatan Perbankan di wilayah Hindia-Belanda ini terutama diarahkan untuk melayani kegiatan usaha dari perusahaan-perusahaan besar milik kolonial di wilayah jajahannya serta membantu administrsi anggaran milik pemerintah. Fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi kegiatan perbankan masih banyak dipengaruhi oleh pola yang diterapkan pada masa penjajah. Untuk mengatasi situasi yang serba tidak menguntungkan ini, cara yang ditempuh pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor rill dan di sector moneter. Deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas moniter untuk meningkatkan kinerja duni perbankan, dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sector riil. Serangkaian kebijakan deregulasi telah mengakibatkan banyak perubahan dalam perbankan Indonesia. Ciri-ciri perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak dapat ditemui lagi pada masa setelah deregulasi. Sehinnga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di Indonesia menjadi lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar